Selasa, 21 Juli 2009

Cerpen Perempuan dan Sebutir Tomat

cerpen, cerita perempuan dan sebutir tomat, kumpulan cerpen cerpen jepang

MENURUTMU bagaimana mengatasi kesunyian pada hari tua. Barangkali ini hanya sebatas ucapan kosong, melantur, dan tak kumaksudkan untuk apa-apa serta bukan untuk siapa-siapa. Kalau perlu lupakan saja. Namum, aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu. Sesuatu yang membuatku menghabiskan hampir sebulan penuh hanya untuk mengikuti perempuan itu. Sesuatu yang barangkali seperti menemukan selembar kertas koran bekas yang terbang di jalan, kumal, tertanggal seumur usia, dan menyimpan sebuah berita kematian saudara. Jangan pernah bilang aku jatuh cinta karena sorot matanya yang tentu menyimpan sebuah dunia yang asing itu.

"Hiduplah orang-orang lain bersama kita," *) kata-kata itu meluncur dari mulutnya selancar doa-doa dan mantra. Bergulir seiring kerenyit derit roda-roda kereta yang menukik membelah sepanjang persawahan, sesekali hutan, sepuluh sungai besar dan kecil, tiga kota kecamatan dan selebihnya kota-kota yang riuh.
Bersamanya seorang lelaki sebaya, mungkin suaminya. Tangannya memegang sebutir tomat merah ranum, selalu diputar-putar dan seperti tak hendak dimakan. Berbaju kebaya, menyimpan sedikit kerak kecantikan yang tersemburat dari gurat-gurat kulit wajah dan tubuhnya. Sementara lelaki yang sebangku dengannya itu terkantuk-kantuk dengan jenggot putih jatuh membungkus usianya yang sepuh.

Ah, kenapa aku ingin berbagai cerita padamu. Entah. Tetapi yang sangat aku ingat, kali pertama aku melihatnya ketika aku duduk di dalam kereta sementara ia berada di bangku seberang, duduk dekat jendela. Matanya ditebar ke keluasan perjalanan. Namun mulutnya selalu mengucapkan kata-kata seperti mantra, "Hiduplah orang-orang lain bersama kita," Sedang lelaki yang bersamanya seolah tak ingin mendengar semua kata-katanya yang menderas selaju kencang kereta, jatuh tertidur dengan dengkur lentur.

Kereta berhenti hampir di setiap stasiun. Namun kedua orang itu tak juga turun. Hingga sampai di ujung stasiun, baru kulihat perempuan itu merapikan barang-barang. Hanya dua tas jinjing kecil dan sebuah tas yang menggantung di bahu kirinya. Sementara si lelaki membawa dua tas jinjing kecil itu keluar kereta, perempuan itu terus berbicara yang di kepalaku menjadi semacam gerutuan yang mengerikan, "Hiduplah orang-orang lain bersama kita."

Sementara sepanjang perjalanan, kami menjadi akrab. Berkat mantra-mantranya, aku pun menyempatkan diri bercakap-cakap sepanjang kereta menderit-derit dan memenuhi tawaran untuk berkunjung ke rumahnya. Sebuah kebetulan. Rumahnya dipenuhi oleh bermacam kupu-kupu yang selalu singgah saban hari, katanya. Rumah kayu di tepi sebuah hutan kecil, tak banyak rumah, tak juga ada listrik, hanya lampu-lampu minyak yang terpancang di beberapa tiang, dan seorang anak muda berumur sekitar sepuluh tahun yang terikat di kursi. Menuju ke rumahnya perlu di tempuh dengan sepuluh menit mengendarai ojek atau hampir setengah jam jalan kaki melewati jalan berbatu. Dan hampir selama sebulan penuh akhirnya aku tinggal di rumah itu.

"Apa ia tak mati kelaparan?" tanyaku pada Ubit Abi suami Uni Daiya, kedua orang itu, sambil melirik ke arah Kun, anak yang diikat di kursi dekat bibir pintu rumah itu.
"Masih hidup," katanya sambil membawa biji-biji bunga matahari yang ia bawa keluar ke arah Uni Daiya yang tengah menyiangi pelataran yang dipenuhi segala macam bunga-bunga.

"Berapa hari kalian meninggalkan dia?"
"Cukup waktu sehari semalam untuk serbuk bunga ini tumbuh."
"Bagaimana jika ia mati?"
"Kematian tak perlu lagi membuat tangis kan?"
"Anak siapa? Cucumu? Kalian menculiknya?"
"Manusia harus dibiarkan hidup, membunuh adalah kejahatan!"
"Kalian tidak takut dilaporkan ke polisi?"
"Usiaku tinggal menghitung satu dua hari."
"Kejahatan!" sergahku.

"Hiduplah orang-orang lain bersama kita," sahut Uni Daiya. Mukanya nampak kumal terpanggang matahari, seharian. Ia beranjak melewatiku dan berjalan ke arah dapur. Tubuhnya kembali bersama sebuah piring yang telah dipenuhi dengan nasi dan lauk pauk. Ia mendekati Kun dan menyuapinya sesuap demi sesuap. Selang beberapa lama kemudian kudengar kedua orang itu tengah mendengkur lentur di dalam rumah. Aku mendekati Kun.
"Kau mendengarku?" bisikku sambil menggerak-gerakkan tubuh Kun. Anak itu menatapku, bola matanya bersinar.

"Kau ingin aku melepaskan ikatanmu?" tanyaku dibalas gelengan kepala. Ia tertunduk lagi dan juga tertidur.
Perempuan itu saban hari pekerjaannya hanya memelihara kebun tomat dan bunga-bunga. Seminggu sekali mereka akan memetik bunga-bunga dan beberapa butir tomat untuk ditukar suaminya dengan beras dan minyak tanah di pasar, tujuh kilometer di bawah sana.

"Dari mana Uni naik kereta?"
"Anakku dikuburkan," jawabnya sederhana.
"Maaf."
Tak ada suara.
"Kenapa Uni tak ikut anak Uni di kota?"
"Keterasingan."
"Kenapa Uni selalu mengikat Kun. Biarkan dia berjalan-jalan sesekali, aku yakin dia tidak akan lari!"
"Kun yang tak ingin jalan-jalan dan lari. Dia yang ingin duduk di situ!"
"Kenapa diikat?"
"Kau ingin dia terjatuh kalau tidur?"
"Tidur di ranjang atau di tikar pandan!"
"Repot!"
"Uni tidak ingin dibilang menyakiti dia kan?"
"Aku mengenal sekali tomat itu, makanya aku tahu kapan dia akan mati?"
Aku tak mengerti. Aku berhenti bertanya ketika ia terbatuk-batuk. Dadanya seperti tertekuk dan seketika menjadi ringkih, ada kerit sesak ketika ia bernafas. Hawa di daerah ini menyimpan kelembaban yang tinggi. Daerah yang tidak kondusif untuk orang yang menderita asma atau bronkitis.

Menjelang malam Uni menyeduh segelas teh hangat dan meminumkan dengan sabar ke Kun, menyelimuti dan menutup sebagian wajahnya. Setelah itu ia memasang lampu minyak dan menutup pintu. Suara serangga malam menjadi liar di tengah malam. Beberapa kunang-kunang terkadang menyerobot masuk. Sementara Ubit Abi membakar semak-semak di sebelah rumah hingga hangat menyelusup masuk ke dalam.

Uni dan Ubit Abi memperlakukanku dengan baik. Pekerjaanku yang hanya memotret dan sesekali ikut Ubit Abi masuk hutan -menemukan beberapa spesies kupu-kupu unik yang bisa kujepret- seperti tak mengganggu keseharian mereka, sama sekali.
Selang dua minggu, aku menemukan Kun tak bergerak. Panik dan ketakutanku tak membuat rumah ini riuh. Mereka mengangkat tubuh Kun kemudian memperlakukan layaknya orang yang sudah mati. Sekeyakinanku Kun memang sudah membeku, mungkin sejak subuh.
"Hiduplah orang-orang lain bersama kita," kata-kata itu kembali nyaring keluar dari mulut Uni Daiya.

Senja setelah kuburan Kun dipenuhi bunga-bunga, Uni Daiya duduk di kursi Kun sembari memutar-mutar sebutir tomat, sesuatu yang pernah dilakukannya di kereta. Sesaat aku teringat ucapannya, "Aku mengenal sekali tomat itu, makanya aku tahu kapan dia akan mati."

Dadaku sesak.
"Kenapa Uni tak biarkan dia berlari, barangkali dia ingin melihat bunga-bunga yang Uni tanam?"
"Barangkali dia mendengar dan berlari lebih jauh hanya dari kursi ini. Aku melihatnya. Sering. Barangkali sekarang aku yang ingin mendengar gersak daun-daun yang dibaliknya ada seekor babi hutan yang diam-diam dengan tergesa menyeruduknya hingga kedua rusuk iganya patah hingga ia tumbuh menjadi lumpuh hingga yang aku tahu umurnya bisa bertahan selama tomat ini belum membusuk. Kun terlampau lemah.

"Membawa kanker tulang dari kota. Hingga aku meyakini kanker itu diam-diam menggerus tubuhnya sampai kerontang hingga suamiku hanya akan menghitung hari demi hari. Ia bermain di sana -sambil jari telunjuknya menunjuk ke sisi bukit- nyaris masuk ke tengah hutan. Lalu babi hitam itu meretakkan dua tulang iganya. Kun hanya berlibur. Kun senang sekali menemani kami. Mengejar kupu-kupu, sepertimu. Tapi akhirnya kami yang harus memiliki kesetiaan untuk menemani Kun. Menjaga matanya tetap terjaga dan berlari mengejar kupu-kupu."

Aku bungkam. Di telingaku, angin menjadi tajam dan menusuk lebih keras kulit tubuhku.
"Ia sanggup bertahan, makanya kami tak tanyakan kematian kami. Setelah ibunya di kota dikubur, barangkali dia tak ingin lari lagi."
Ia mengulurkan sebutir tomat itu ke tanganku. "Hiduplah orang-orang lain bersama kita," kata-kata itu diucapkannya bersama sebuah senyuman. Matanya dipejamkan.
Senja tiba dan Ubit Abi memperlakukan dia sebagaimana Uni Daiya memperlakukan Kun. Dan terakhir, aku yang menyelimuti tubuh Ubit Abi sepanjang senja mulai turun hingga perlahan sebutir tomat yang ada di tanganku mulai lembek dan membusuk. Saat itu aku musti menanamnya, begitu pesan Uni Daiya.

Sebulan, tepatnya. Perjalanan pulang. Barangkali hanya sebersit harap, aku menemukan selembar kertas koran, seumur usia dan ada berita kematian seorang kerabat. Lalu lamat-lamat gerimis merapat. Aku menarik krah jaketku ke atas dan tertidur pulas di kereta. Barangkali aku juga ingin menyimpan kisah ini, sekalipun kepadamu. Ry!

Senin, 20 Juli 2009

Cerita Anak Lemper Jepang


cerita pendek anak jepang, cerita anak lemper jepang, cerpen anak

Anak Lemper Jepang
Cerita anak berkisah tentang Lemper Jepang. Dongeng anak dan kisah anak Lemper Jepang dapat diceritakan sebelum tidur agar anak-anak dapat menambah pengetahuan dan memberikan rasa kasih sayang kepada anak kita

Biasanya kalau hari Minggu, Shasa suka bermalas-malasan. Bangun tidurnya sih tetap subuh tetapi setelah itu kembali tidur-tiduran sambil menonton film kartun kesukaannya. Mandi pagi? Wahh.. Mama sampai harus berulangkali menyuruh mandi baru deh Shasa mau mandi.

Hari Minggu ini ada yang berbeda. Pagi-pagi Shasa sudah mandi dan sarapan. Ada apa gerangan?

Ternyata hari ini papa akan mengajak mama dan Shasa ke toko buku. Kata papa, Shasa boleh membeli buku cerita kesukaannya dua buah. Setelah itu mereka akan makan siang di restoran.

Seperti yang dijanjikan, jam sepuluh pagi mereka pergi ke mall.

“Waahh.. besar sekali toko bukunya,” gumam Shasa terkagum-kagum. Koleksi buku anak-anaknya pun banyak sekali. Beberapa menit kemudian Shasa sudah asyik memilih-milih buku bacaan. Sesekali pandangannya beralih ke deretan rak yang memajang novel dewasa. Hanya untuk memastikan mama ada di sana. Sama seperti dirinya, mama juga tampak asyik memilih-milih buku.

“Habis ini kita mau ke mana, Pa?” tanya Shasa ketika selang satu jam kemudian mereka melangkah keluar dari toko buku.

“Papa mau mengajak Shasa makan Sushi,” jawab papa.

sushi“Apaan tuh Sushi?” Shasa kembali bertanya.

“Sushi itu makanan jepang terbuat dari nasi yang digulung dan diberi isi di bagian tengahnya. Ada yang isinya ikan, belut, daging atau yang lainnya.” Mama menjelaskan.

“Ooo..” Shasa mengangguk-anggukkan kepalanya. “Seperti lemper ya, Ma?”

lemper“Iya. Bedanya kalau lemper terbuat dari ketan sementara Sushi terbuat dari nasi. Lemper dibungkus daun pisang sementara beberapa jenis Sushi dibungkus Nori.”

“Nori? Apaan lagi tuh? Kok seperti nama teman Shasa?” Shasa kembali bertanya.

Mama dan papa tertawa mendengarnya. “Nori itu lembaran tipis berwarna hitam terbuat dari rumput laut,” kata mama. Shasa kembali mengangguk-anggukkan kepalanya.

Di restoran, Shasa memesan Unagi Sushi yaitu Sushi yang berisi potongan belut. Shasa memang suka makan belut.

“Gimana, Shasa suka gak makan Sushi?” tanya papa setelah mereka selesai bersantap.

Shasa menggelengkan kepalanya.

“Lohh.. kenapa?” tanya papa lagi.

“Habis makannya harus pakai sumpit sih,” jawab Shasa. “Shasa kan gak bisa pakai sumpit.”

Mama dan papa tertawa mendengarnya.

“Kalau Shasa gak bisa pakai sumpit kan bisa pakai sendok dan garpu,” kata papa.

“Iya sih.. tapi Shasa lebih suka lemper Indonesia dibanding lemper Jepang. Pokoknya lemper Indonesia itu mak nyuuusss..” Shasa menjawab sambil mengacungkan dua jempol ke arah papa. “Lagian Shasa kan cinta makanan Indonesia.”

“Iya deehh..” kata mama dan papa serempak sambil tertawa.

Betul juga apa yang dikatakan Shasa. Kalau bukan kita yang mencintai makanan Indonesia, siapa lagi?

Minggu, 19 Juli 2009

cerpen jepang | rashomon


cerpen jepang, rahomon wallpaper

Mengisahkan pertemuan seorang Genin (samurai kelas rendah) dengan seorang perempuan tua di gerbang Rashomon, Kyoto. Konon, gerbang ini juga menjadi tempat pembuangan mayat-mayat tak dikenal hingga tak seorangpun berani mendekatinya di malam hari. Di dera rasa lapar yang hebat, terjadi dilema dalam benak Genin, apakah dia akan terus bertahan disitu atau membuang jauh-jauh harga dirinya dengan menjadi pencuri sebagai jalan terakhir bertahan hidup. Pertemuannya dengan sang perempuan tua awalnya menimbulkan rasa jijik di hati Genin karena melihat ulah perempuan itu yang mencuri rambut mayat-mayat yang tergeletak di Rashomon. Si perempuan tua berkilah bahwa ia terpaksa melakukan itu demi bertahan hidup, ditambah kenyataan bahwa salah satu mayat yang ia curi rambutnya dulu adalah seorang perempuan pedagang daging yang sering menipu konsumennya. Lalu bagaimana dengan Genin? Apakah dia akan terus berpegang pada prinsipnya untuk tidak mencuri?

Ryunosuke Akutagawa adalah penulis Jepang era Taisho yang dijuluki sebagai “Bapak Cerpenis Jepang”. Sepanjang hidupnya, tercatat kurang lebih 150 cerpen yang telah ditulis Akutagawa dimana tujuh diantaranya dimuat dalam buku ini. Kisah Rashomon pertama kali diterbitkan pada tahun 1915 di Teikoku Bungaku dan sampai kini menjadi salah satu topik diskusi sah-tidaknya mencuri sesuatu demi bertahan hidup.

Judul: Rashomon (Kumpulan Cerita)
Pengarang: Akutagawa Ryunosuke
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan Pertama: Januari 2008
Jumlah Halaman: 175 halaman
No. ISBN: 979-910-093-3

Buku yang wajib Anda baca!!!

Minggu, 12 Juli 2009

Zhang Guolao Menunggang Keledai Secara Terbalik



Cerpen anak, cerita pendek dari jepang, kumpulan cerpen jepang

Zhang Guolao, disebut juga Zhang Guo, adalah salah satu dewa dalam aliran Tao. Menurut buku “Tang Shu” (buku mengenai Dinasti Tang), Zhang Guolao benar-benar hidup di Zhong Tiao Shan, provinsi Shanxi. Dia berhasil kultivasi hingga mencapai keabadian. Kaisar Tang Gaozong berulang kali mengundangnya datang ke istana namun ia secara sopan selalu menolak. Permaisuri Wu Zetian berusaha memerintahkan Guolao datang kepadanya. Untuk menghindari permintaan tersebut, Guolao berpura-pura mati di depan kuil. Saat itu sedang musim panas, jadi tubuhnya mulai terurai dan berbau tak enak. Mendengar hal itu, Wu Zetian tidak berusaha lagi. Namun tak lama kemudian, seseorang melihat Guolao di Gunung Heng.

Alasan Tang Xuanzhong berkali-kali mengundang Guolao adalah ingin menanyakan bagaimana cara mencapai keabadian. Saat melihat Guolao sangat tua renta, dia bertanya kepada Guolao, “Anda telah memperoleh Tao, namun kenapa Anda terlihat sangat tua, dengan rambut yang sudah tinggal beberapa lembar dan gigi yang sudah banyak ompong?” Zhang Guolao menjawab, “Saat mencapai setua ini, saya tidak menemukan metode apapun, jadi saya terlihat seperti ini.”Ini memalukan. Tapi jika saya mencabut rambut dan gigi saya, mungkin akan tumbuh yang baru?” Lalu, dia langsung melakukannya. Dia mencabut rambutnya yang tinggal beberapa helai tersebut, juga mencabut giginya saat itu juga. Kaisar yang melihatnya kaget dan sedikit takut, lalu menyuruh pengawalnya untuk mengantar Guolao pulang beristirahat. Tak lama kemudian, mereka kembali lagi ke istana, tapi penampilan Guolao sudah berubah total, tumbuh rambut hitam tebal di kepalanya dan gigi putih yang lengkap menghiasi senyumnya. Semua pejabat istana termasuk kaisar terperangah melihat perubahan itu dan bertanya kepada Guolao apa metode rahasia untuk mencapai muda kembali. Zhang Guolao menolak memberi tahu.

Suatu hari, Kaisar Tang Xuanzong pergi berburu dan mendapatkan seekor rusa besar. Rusa itu agak beda dengan yang lainnya. Pada saat akan dibunuh, Zhang Guolao kebetulan lewat dan menghentikan kaisar. Dia berkata, “Ini rusa khayangan yang telah hidup lebih dari ribuan tahun. Kaisar Han Wudi juga dulu pernah menangkapnya, saya melihatnya dan memberitahukannya hal ini juga, lalu beliau melepaskannya.” Kaisar Tang Xuanzhong bertanya, “Bagaimana Anda ingat ini rusa yang dulu Anda lihat? Ada banyak sekali rusa di dunia ini, dan kejadian itu sudah pasti lama sekali sebelum Anda hidup.” Zhang Guolao menjawab, “Saat Kaisar Han Wudi melepaskan rusa itu, ia memberikan tanda di tanduk kiri rusa itu dengan sepotong metal perunggu.” Lalu Kaisar menyuruh pengawalnya untuk memeriksa tanduk kiri rusa itu dan benar-benar menemukan metal perunggu yang bertuliskan angka. Kaisar bertanya, “Kapan Kaisar Han Wudi pergi berburu menangkap rusa ini?” Sudah berapa lama sampai sekarang?” Zhang Guolao menjawab, “Kejadian itu tepatnya 825 tahun yang lalu.” Kaisar Tang Xuanzhong menyadari, ucapan Guoalao sepenuhnya benar.

Zhang Guolao punya kebiasaan unik, yaitu menunggang keledai putih secara terbalik, sehari berjalan bisa mancapai 10.000 Li. Tentu saja keledai putih itu juga merupakan keledai khayangan, yang bisa dilipat dan dimasukkan ke dalam tas saat ia sedang tak diperlukan tuannya. Ia selalu menunggang keledai dalam posisi yang terbalik untuk mengingatkan manusia akan kekeliruannya.

Dalam buku "Zhuan Falun" tertulis demikian, Zhang Guolao menunggang keledai secara terbalik. Dia menemukan bahwa dengan berjalan ke depan berarti mundur ke belakang, manusia makin lama makin jauh terpisah dari karakter alam semesta. Dalam proses evolusi alam semesta, terutama sekarang setelah memasuki arus pasang komoditi ekonomi, banyak orang yang moralnya sangat rusak, makin lama makin jauh terpisah dari karakter alam semesta Zhen, Shan, Ren (sejati-baik-sabar). Orang-orang di tengah manusia biasa yang mengikuti pasang surutnya arus tidak merasakan taraf kerusakan moral manusia, oleh karena itu sebagian orang masih menganggapnya hal yang baik, hanya orang yang telah meningkat dalam Xiulian Xinxing (kultivasi watak/moral) sekali menoleh ke belakang, baru insyaf bahwa kerusakan moral umat manusia telah sampai pada tahap yang demikian mengerikan.

Rabu, 08 Juli 2009

Rumah Kertas yang bisa Mengahasilkan Uang



a href="http://ceritayangdinanti.blogspot.com/">Cerpen rumah Kertas yang bisa menghasilkan uang, Cerpen jepang

Hari guru telah tiba, kami beberapa orang teman sejawat berkumpul bersama, bercerita tentang guru-guru kami di masa kanak-kanak. Di mata anak-anak kecil guru adalah orang yang serba bisa, cerita punya cerita akhirnya rekan-rekan berebut menceritakan keahlian dan siasat yang dimiliki oleh para guru-guru itu.

Yang satu berkata, gurunya bisa memainkan akordeon dengan bagus, yang lain berkata gurunya pandai bercerita, sehingga teman-teman sekelasnya tidak ingin pulang jika sudah mendengarkan cerita dari gurunya itu. Bahkan ada salah satu rekan saya yang berkata, gurunya memiliki tenaga yang besar sekali, suatu ketika gurunya itu menggunakan satu tangan untuk mengangkat tiga orang teman sekelasnya sekaligus, seperti mengangkat anak ayam.

Semua rekan-rekan dengan antusias bercerita, hanya Halim yang duduk diam di samping tidak mengeluarkan sepatah katapun.

Kami bertanya kepadanya, "Halim bagaimana dengan gurumu?"

Halim menggosok-gosokkan tangan dan berkata, "Saya,... saya........"

Kelihatannya Halim mempunyai sedikit keraguan, kami semua memandang ke arahnya, akhirnya terlepas juga dari mulutnya. "Guru saya bukan seorang pesulap, tetapi dia mempunyai sebuah rumah kertas yang bisa menghasilkan uang!"

Mendengar perkataannya itu kami semua orang tertawa. Melihat keadaan ini Halim menjadi tidak sabar, selesai minum satu teguk teh dia berkata, "Kalian tidak percaya, baiklah setelah kalian mendengarkan ceritaku ini kalian akan mengerti."

Saat itu saya masih duduk di bangku kelas empat. Suatu ketika kelas kami akan mengadakan tamasya, setiap teman sekelas menyerahkan uang 50 ribu, satu kelas 40 murid jadi uang yang terkumpul adalah 2 juta, uang tersebut dikumpulkan oleh ketua kelas.

Ketua kelas kami waktu itu adalah seorang anak perempuan yang sangat manis, berpawakan kecil, rambutnya dikepang dua seperti tanduk kambing. Tetapi hari itu, dia menangis tersedu-sedu, karena setelah dia selesai berolah raga dan kembali ke dalam kelas, uang yang dia kumpulkan dan letakkan dalam laci bangku dalam kelas telah hilang.

Ayahnya adalah seorang pekerja tambang yang berada di dekat sekolahan kami. Ibunya tidak memiliki pekerjaan, keadaan ekonomi keluarganya tergolong miskin. Uang sejumlah 2 juta bagi dirinya terbilang cukup besar baginya, maka dengan kehilangan uang itu membuatnya menangis tersedu-sedan.

Para guru pengajar dalam kelas itu bergegas datang ke kelas untuk menanyakan situasi dari kejadian itu. Guru Inggris berkata kejadian tersebut sudah jelas pelakunya adalah teman sekelas sendiri, karena waktu hilangnya uang itu hanya beberapa menit saja.

Guru olah raga berkata, "Kalau begitu semua murid duduk kembali di atas bangku masing-masing, kita adakan pemeriksaan satu persatu." Usulan guru olah raga segera mendapatkan persetujuan dari beberapa guru yang lain, para guru berpendapat menggunakan cara ini yang terbaik.

Murid-murid satu kelas tidak ada yang berbicara, suasana dalam kelas sangat tegang. Saat itu datanglah guru matematika kami, dia adalah seorang pria tua yang kurus, dia mengacungkan tangan dan berkata, tidak boleh, tidak boleh diperiksa satu persatu!

Dia berkata dengan tegas serta dengan suara yang sangat keras. Dia berkata kepada para guru yang lain, mohon kepada mereka membiarkan dia menangani masalah ini, serta berjanji pasti akan menemukan kembali uang yang hilang itu.

Sambil berkata demikian guru matematika itu memalingkan badan mengeluarkan sebuah kotak kapur dari bawa meja, kapur tulis yang berada dalam kotak dikeluarkan semua. Tangannya menjadi sangat cekatan sekali, kotak kapur itu dibolak-balik dan dilipat-lipat, sesaat kemudian, kotak kapur itu telah berubah menjadi rumah kertas yang sangat cantik, rumah kertas itu juga disediakan sebuah jendela kecil.

Guru matematika itu mengangkat rumah kertas itu dan berkata, "Murid-murid sekalian, rumah kertas ini adalah sebuah rumah yang bisa menghasilkan uang, sekarang kalian setiap orang boleh berdiam seorang diri di dalam kelas selama satu menit. Gunakan tangan kecil kalian untuk meraba jendela kecil yang ada di rumah kertas itu, Bapak yakin, uang yang hilang itu akan segera terbang kembali ke dalam rumah kertas ini."

Sebentar kemudian, kami semua keluar dari ruang kelas itu, lalu satu persatu masuk ke dalam kelas seorang diri, menanti semua murid satu kelas sudah memenuhi gilirannya. Guru matematika itu langsung di tempat itu juga mengangkat rumah kertas itu. Benar juga dari dalam jendela rumah kertas itu dia mengeluarkan setumpuk uang!

Uang itu setelah dihitung jumlahnya persis 2 juta, satu senpun tidak lebih dan tidak kurang. Teman-teman satu kelas bersorak dengan riang gembira, situasi yang semula sangat tegang segera hilang ........

Bercerita sampai di sini, Halim terdiam untuk sejenak, dia minum seteguk teh lalu berkata, "Mungkin Anda sekalian sudah bisa menerka, tentunya rumah kertas itu tidak bisa menghasilkan uang. Uang yang berada di dalam rumah kertas itu diletakkan oleh teman sekelas yang telah mengambil uang itu, dan orang itu adalah saya."

"Saat itu saya sangat resah ingin memiliki sebuah buku yang berjudul Sepuluh Ribu mengapa. Pikiran kacau telah menyebabkan saya nekad mengambil uang ketua kelas yang diletakkan di bawah meja belajarnya. Jika bukan karena rumah kertas yang dibuat oleh guru matematika itu, sangat mungkin sekali di dalam hati masa kanak-kanak saya akan terukir sebuah tanda penghinaan yang sangat mendalam."

"Beruntung ada sebuah rumah kertas cantik yang bisa menghasilkan uang telah melindungi saya, membuat saya bersyukur dan selalu mengenang dalam hati untuk selama-lamanya..." (Mingxin/lin)

Minggu, 05 Juli 2009

Keledai dan Garam Muatanya



Cerpen anak, Cerita Pendek Dr Jepang
Seorang pedagang, menuntun keledainya untuk melewati sebuah sungai yang dangkal. Selama ini mereka telah melalui sungai tersebut tanpa pernah mengalami satu pun kecelakaan, tetapi kali ini, keledainya tergelincir dan jatuh ketika mereka berada tepat di tengah-tengah sungai tersebut. Ketika pedagang tersebut akhirnya berhasil membawa keledainya beserta muatannya ke pinggir sungai dengan selamat, kebanyakan dari garam yang dimuat oleh keledai telah meleleh dan larut ke dalam air sungai. Gembira karena merasakan muatannya telah berkurang sehingga beban yang dibawa menjadi lebih ringan, sang Keledai merasa sangat gembira ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka.

Pada hari berikutnya, sang Pedagang kembali membawa muatan garam. Sang Keledai yang mengingat pengalamannya kemarin saat tergelincir di tengah sungai itu, dengan sengaja membiarkan dirinya tergelincir jatuh ke dalam air, dan akhirnya dia bisa mengurangi bebannya kembali dengan cara itu.

Pedagang yang merasa marah, kemudian membawa keledainya tersebut kembali ke pasar, dimana keledai tersebut di muati dengan keranjang-keranjang yang sangat besar dan berisikan spons. Ketika mereka kembali tiba di tengah sungai, sang keledai kembali dengan sengaja menjatuhkan diri, tetapi pada saat pedagang tersebut membawanya ke pinggir sungai, sang keledai menjadi sangat tidak nyaman karena harus dengan terpaksa menyeret dirinya pulang kerumah dengan beban yang sepuluh kali lipat lebih berat dari sebelumnya akibat spons yang dimuatnya menyerap air sungai.

Pesan: Cara yang sama tidak cocok digunakan untuk segala situasi.

Kisah ini adalah bagian dari Seri Dongeng Aesop
Aesop adalah seorang pendongeng yang konon hidup 600 tahun sebelum Masehi. Dongeng-dongengnya selalu mengajarkan kebaikan atau kebijakan untuk manusia.